Sebenarnya My Hope sudah selesai sejak saya SMA dan sudah sukses ditolak beberapa kali oleh penerbit mana pun, membuat saya dengan riang gembira mengoleksi surat penolakan naskah tanpa sengaja. Lantas apakah saya menyerah? Waktu itu saya menyerah karena masih banyak kewajiban yang harus saya tuntaskan sebagai pelajar yang baik. Namun saya tetap menulis meskipun tulisan saya masih tabrak-tabrakan sama teknik penulisan, terutama EYD dan tanda baca.
Sepanjang perjalanan dari SMA ke kuliah, saya lebih suka menjadi pembaca yang menikmati setiap tulisan. Tentu saja dalam hati saya berandai bisa menjadi membuat tulisan dan lebih gilanya lagi, saya masih menyimpan cita-cita saya menjadi penulis hebat kayak Dewi Lestari.
Pada akhir semester, papa menghadiahkan saya internet di kamar. Sejak itu saya bertekad menambah kegiatan menulis. Saya harus memperbanyak karya untuk blog saya di FS (dulu kan jamannya FS lagi ngetop tuh). Menulis sebatas blog. Sampai saya tanpa sengaja dipertemukan oleh teman SD saya di FS, dia sedang kuliah di Vienna-Austria. Kami akhirnya chatting via YM dan dia menyarankan saya masuk komunitas penulis online kemudian.com.
Saya langsung antusias belajar di situ dan dari situ juga saya jadi paham kenapa novel My Hope saya selalu ditolak. Saya belajar, berbagi ilmu dengan teman-teman saya di sana. Satu hal bagi saya adalah kritik pada tulisan termasuk hadiah yang mahal buat saya. Dari situ saya tahu di mana letak kekurangan dan kebodohan saya dalam menulis. Dari situ juga saya mewajibkan diri saya membuka kembali memori pelajaran Bahasa Indonesia waktu jaman sekolah dulu.
Tiba-tiba saya terusik membuka-buka kembali naskah My Hope, saya terusik juga untuk mengeditnya sambil bertekad ini novel suatu saat harus terbit sebagai karya perdana saya. Bertepatan dengan itu, saya dikejutkan dengan cerita teman kakak saya yang mengidap penyakit lupus. Dari situ saya langsung memutuskan untuk merombak My Hope sekian persen, yang tadinya bercerita tentang persahabatan dan cinta, kini saya belokan menjadi cerita tentang ODAPUS.
Menceritakan tentang odapus adalah hal yang sulit menurut saya. Bahkan saya hampir putus asa ketika saya tidak menemukan odapus yang mau terbuka dengan saya. Nyerah untuk beberapa saat, karena saya harus fokus dengan tugas akhir saya. Selesai saya wisuda. Waktu saya banyak untuk menulis dan saya membuka kembali naskah. Beruntung Allah mempertemukan saya dengan Mbak Tini, seorang odapus yang mau terbuka dengan saya. Bahkan tak hanya itu saja, dia juga yang membantu saya menentukan jalan cerita ketika saya sedang kehabisan plot.
Alhamdulilah, Allah pun mengenalkan saya dengan odapus-odapus lain. Jujur, mengenal mereka semua adalah pengalaman batin yang sulit sekali saya jelaskan dengan kata-kata. Luar biasa. Dengan mereka, saya belajar bagaimana memanfaatkan hidup yang tidak lama bagi mereka dan tentu saja bagi saya, manusia biasa yang juga tidak tahu kapan kematian menjemput. Dengan mereka, saya belajar bagaimana menjadi tegar, karena di hadapan mereka saya bakalan malu rapuh terlalu lama gara-gara CINTA. Dengan mereka, saya belajar bersyukur atas kesehatan saya. Dengan mereka, saya belajar bagaimana Allah selalu ada untuk saya dan Allah satu-satunya harapan paling sempurna bagi saya.
Semua pengalaman batin itu membuat saya akhirnya memutuskan untuk memperjuangkan novel saya agar terbit tahun ini. Demi mereka dan senyum mereka. Saya ingin mengenalkan pada dunia bahwa mereka ada dan mereka butuh tempat di hati kita semua. Karena hati kita adalah semangat hidup bagi mereka.
Tebet, 14 Januari 2010
Kepada mereka, kupu-kupu penerbar senyum tegar yang selalu mewarnai langkah saya.
I Love You All Forever!
Kavellania
Tidak ada komentar:
Posting Komentar